Benar.
Seseorang akan tumbuh sebagaimana jalan hidup membentuk pribadinya. Seseorang yang sering mengalami kekecewaan, akan cenderung lebih sulit membuka diri dan percaya pada orang lain.
"Saya harus melewati tahun-tahun penuh kepahitan untuk bisa berdiri tegak sampai hari ini, tanpa teman, tanpa dukungan, tanpa sandaran," katamu, "tidak ada yang peduli selain diri sendiri."
Aku tercenung melihatnya menitikkan air mata tanpa suara. Orang yang pernah menangis dalam diam, akan tahu jika itu sakit. Dan kutahu ia adalah orang yang sudah banyak sekali menangis dalam diam. Apa ia tak sakit?
"Saya sudah melewati batas rasa sakit," ujarnya tersenyum. Ah, senyumnya sungguh manis... tapi terasa hambar. Apa itu yang dinamakan mati rasa?
Aku mencoba menghiburnya, "maafkanlah masa lalumu," kataku, "maafkanlah dirimu. Itu akan membuat hatimu lebih ringan."
Ia hanya terdiam. Aku tak mampu meraba isi hatinya. Maka kuteruskan kalimatku, "kecewa hanya datang ketika kau banyak berharap. Jangan terlalu berharap maka kau tak akan kecewa lagi, percayalah."
"Kenapa saya harus percaya padamu?"
"Karena kita berteman," jawabku.
"Saya tak punya teman," ia menimpali.
Aku terhenyak. Aku sudah menemaninya, seumur hidupnya, dan ia bahkan tak menganggapku teman?
Seseorang akan tumbuh sebagaimana jalan hidup membentuk pribadinya. Seseorang yang sering mengalami kekecewaan, akan cenderung lebih sulit membuka diri dan percaya pada orang lain.
"Saya harus melewati tahun-tahun penuh kepahitan untuk bisa berdiri tegak sampai hari ini, tanpa teman, tanpa dukungan, tanpa sandaran," katamu, "tidak ada yang peduli selain diri sendiri."
Aku tercenung melihatnya menitikkan air mata tanpa suara. Orang yang pernah menangis dalam diam, akan tahu jika itu sakit. Dan kutahu ia adalah orang yang sudah banyak sekali menangis dalam diam. Apa ia tak sakit?
"Saya sudah melewati batas rasa sakit," ujarnya tersenyum. Ah, senyumnya sungguh manis... tapi terasa hambar. Apa itu yang dinamakan mati rasa?
Aku mencoba menghiburnya, "maafkanlah masa lalumu," kataku, "maafkanlah dirimu. Itu akan membuat hatimu lebih ringan."
Ia hanya terdiam. Aku tak mampu meraba isi hatinya. Maka kuteruskan kalimatku, "kecewa hanya datang ketika kau banyak berharap. Jangan terlalu berharap maka kau tak akan kecewa lagi, percayalah."
"Kenapa saya harus percaya padamu?"
"Karena kita berteman," jawabku.
"Saya tak punya teman," ia menimpali.
Aku terhenyak. Aku sudah menemaninya, seumur hidupnya, dan ia bahkan tak menganggapku teman?
Aku yang paling tahu seberapa terpuruk dia saat itu. Hanya aku yang menemaninya saat semua orang pergi. Terseok-seok ia melangkah, mencoba bangkit di bawah tatapan sinis semua orang yang memandang sebelah mata.
Bagaimana bisa aku tak dianggapnya teman?
"Pergilah!" serunya.
Aku menatapnya tak percaya. Sebegitu tak percaya kah ia pada orang lain? Bahkan padaku yang begitu peduli padanya? Pantas saja ia tak punya teman. Ternyata memang ia tak bisa menghargai teman.
Apa sebaiknya aku pergi? Buat apa aku tetap di sini jika ia tak menghargaiku lagi? Tapi aku tahu ia begitu ringkih di balik sosoknya yang keras dan acuh. Luarnya tegar dalamnya rapuh. Aku tak tega meninggalkannya seorang diri. Ia membutuhkanku.
"Aku tidak akan pergi," ujarku bersikeras. "Aku tahu kau selalu berusaha menghibur orang lain karena kau tahu rasanya hidup sendiri. Kau selalu mau mendengar cerita orang lain sebab kau tahu rasanya tak punya tempat berbagi cerita. Kau bantu orang-orang yang mengalami kesulitan sebab kau tau betapa susahnya mencari penghidupan. Aku mengenalmu lebih dari kau mengenali dirimu sendiri. Kau butuh teman. Biarkan aku jadi temanmu selamanya."
"Tapi saya sudah bahagia, pergilah. Saya sudah tidak membutuhkanmu lagi. Biarkan saya bahagia tanpa kamu."
Kuhela napasku panjang dan dalam. Ia memang keras kepala.
Bukan hanya kali ini ia mengusirku. Ia sering menyuruhku pergi. Berulangkali ia mengusirku, berulangkali pula ia memanggilku kembali. Katanya, bahagianya tak lengkap tanpa aku. Katanya lagi, ia menemukan bahagia saat bersamaku. Omong kosong! Sekarangpun ia mengusirku lagi.
Baiklah.
Jika itu yang ia inginkan.
Jika itu yang terbaik.
Mungkin memang itu yang terbaik.
Aku akan pergi.
Agar ia merasakan bahagianya secara utuh. Bahagia tanpa aku.
Sebab aku hanyalah rasa SAKIT. ***
Jika itu yang ia inginkan.
Jika itu yang terbaik.
Mungkin memang itu yang terbaik.
Aku akan pergi.
Agar ia merasakan bahagianya secara utuh. Bahagia tanpa aku.
Sebab aku hanyalah rasa SAKIT. ***
Ini namanya cerpen atau bukan ya? Bingung soalnya mau komentar apa.😂
BalasHapusMmm ... sebut saja dialog hati. Ehehe
HapusSepertinya cerpen yang mewakili isi hati yang sebenarnya hehehe.
HapusSecara alamiah jati yang meranggas adalah bentuk adaptasi untuk bertahan hidup. Mungkin demiina juga dengan hati kita, mungkin galau2 dikit tapi untuk diambil hikmahnya
Betul juga, sakit memang kadang datang tak diundang, tapi perginya lama.
HapusApalagi buat karyawan, tanggal tua biasanya sering sakit itu nya...😂
Bicara soal diri sendiiri, memang memaafkan adalah salah satu obat yang cukup ampuh untuk meringankan hati yang sudah cukup lama dihinggapi rasa sakit maupun kepahitan, hmmm
BalasHapusMeski ringan diucapkan tapi lumayan butuh perjuangan untuk dilakukan :)
HapusKata-katanya dalam.
BalasHapusTapi kalo untuk urusan sakit dan kecewa, aku inget satu hal sih.
Seseorang nggak akan tau cara untuk bangkit, jika tak pernah merasakan jatuh.
Iyaa...
HapusSemua ada hikmahnya :)
Dia itu laki laki atau perempuan sih sebenarnya? Hehehe...
BalasHapusTokoh sebenarnya apakah pohon jati?
Bisa diartikan apa saja, terserah pembaca dalam mengapresiasinya.
HapusTadinya saya mau bilang, begitulah kalau seseorang tidak menghargai sekelilingnya, yang menemaninya atau yang hanya menyapanya saat bertemu di pagi hari.
BalasHapusTernyata dialog sendiri. Hahahahaha.
Saya benar-benar terkecoh.
Eh tapi benar, ya, jangan merasa sendirian karena ada orang yang akan selalu memperhatikan dan siap membantu.
Terlebih ada Allah dan malaikatnya. Jadi, tak pernah benar-benar sendirian.
Betul, mbak.
HapusTapi sakit adalah bukti kehidupan
BalasHapusKau tak bisa mengusirnya
Tanpa rasa sakit, kematian menunggumu
Kadang tetap ada bahagia di kala sakit.
Hapusrasa sakit ialah penyeimbang hidup.tanpa rasa itu mana tahu kita kalau hal baik terjadi dan gak bs merasakan nikmatnya hal baik tersebut
HapusBisa kurasakan gimana sakitnya dari rangkaian kata-katamu. Nikmati rasa sakit itu. Setelahnya mari bersiap untuk menjemput impianmu 🤗
BalasHapuswaaahh ini semacam dialog dgn "alter ego" atau "inner me" gitu ya Mba
BalasHapuskereennn
Mbak jangan pergi dulu sih, hehehe. Bagus banget bait demi bait, suka sastra ya?
BalasHapusSaya suka baget foto pohon keringnyaaaa serasa saat musim gugur hehe
BalasHapusDuh, sedih banget bacanya. Berharap semoga tulisan ini fiksi. Berharap semoga sosok dingin itu hanya tokoh khayalan. Jika nyata, pasti sedih banget. Aku kadang pun seperti itu. Tapi tetap, ada orang-orang yang aku tak bisa hidup tanpa mereka. Ah... Aku jadi sedih. :(((
BalasHapusBerasa menilik kedalaman hati sendiri di masa lalu. Alhamdulillah sekarang sudha bangkit.
BalasHapusJati yg meranggas.. aku jadi inget pelajaran sekolah dulu. Hehehe... apa aku doank yang merasa ini seperti bertutur secara fiksi 😉
BalasHapusHmmmm. Jadi intinya ini monolog ya? Jadi yang diusirnya itu adalah rasa sakit? Btw, rasa sakit itu wajar ada dalam diri manusia, itu bisa membantu membentuk diri kita jadi lebih baik. Atau jadi lebih buruk. Tapi sepertinya semua manusia di planet ini pernah merasakan sakit. Baik sakit fisik atau pun psikis (sakit hati). Hehe. Yang paling penting maafkan diri, hargai diri, dan terima diri kita. Kalau bukan kita siapa lagi. Teman terbaik adalah diri kita sendiri. Orang lain boleh menghujat, menghina, menyalahkan, dll. Biarlah itu jadi tugas orang lain. Tugas kita adalah bersikap baik terhadap diri sendiri agar kita bisa berbuat baik pada orang lain. Sebaik-baik manusia adalah yang mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri. Bagaimana kita bisa mencintai orang lain kalau tidak tau cara mencintai diri sendiri? Monolog mode on. 😂
BalasHapusYa ampun mbak, aku kok merasa ada di dalam cerita itu ya?? I can feel it. Ceritanya hidup banget..
BalasHapusSesampai di sini, saya tertegun. Membaca ulang kalimat demi kalimat yang terangkai namun belum mampu memberi komentar apa pun. Bukan tak mau, tapi takut salah memaknai.
BalasHapusYang jelas, untaian kata yang dipilih sungguh punya makna dan saling terkait. Bahwa kesendirian sesungguhnya butuh teman. Sakit butuh sembuh, sedih butuh senang, siang butuh malam, yin butuh yang, sebagai penyeimbang. Well done untuk tulisan apiknya, Teh Lasmi! Keren!
Ah speechless mba.. Pada setiap sakit semoga ada hikmah.. Tapi berharap tulisan ini hanya fiksi. Tp rasa sakit memang bagian dari hidup sih, setiap manusia pasti pernah merasakannya
BalasHapus