"Kotor, berantakan, dan tidak rapi? Tidak akan. Aku menggunakan foundation brush untuk mengaplikasikan mousse foundation pada kulit berminyak."
____________________________
Mereka kira aku lupa. Tapi aku ingat. Semuanya. Kuhela napasku dalam. Kuamati sekali lagi gadis berbaju marun di ruang tamu dari celah pintu yang sedikit terbuka. Pandangannya merunduk, nampak serius mengamati katalog dekorasi pelaminan di pangkuan. Sesekali senyum tersungging dari bibir tipisnya, terlihat senang saat menemukan beberapa konsep yang, mungkin, menarik hati.
Pandanganku beralih pada pria di depanku. Ia balik menatapku intens.
"Kamu tahu aku tidak bisa, maaf," desahku.
Sebisa mungkin kujaga nada tegas dari jawabanku meski tak yakin itu berhasil.
"Tapi dia hanya mau datang kemari, Ay. Kamu yang terbaik," sergahnya setengah berbisik. "Kumohon ...."
Kupejamkan mataku lelah. Menikmati setiap detak yang bertalu, berharap tak ada siapapun yang mendengar selain hanya aku dan aku.
*
Ternyata aku baru saja membuat kesalahan dengan mempersilakan mereka untuk masuk. Seharusnya tadi aku berpura-pura sibuk saja, tak ada waktu untuk menerima tamu, atau tepatnya, menerima mereka bertamu. Namun, setengah diriku seperti tidak sinkron menerima instruksi dari otak dan malah menyunggingkan senyum mendapati kedua orang itu begitu tanganku membuka pintu.
Untunglah aku pemain lama yang sudah khatam dalam hal beramah tamah dengan klien. Atau calon klien. Bahkan sikapku terlihat begitu santai di atas debaran jantung yang berdebum sejak detik pertama melihatnya-lagi.
Setelah berbasa basi sejenak, menawarkan minuman dan camilan yang dihidangkan mba Min, asisten rumah tangga, pria itu menyampaikan maksud kedatangannya.
"Kami ingin mba Ayu menjadi Wedding Organizer pada acara pernikahan anak kami," terang pria itu dengan bahasa yang, bisa dibilang, sangat formal.
Aku terbahak dalam hati. Tapi lihat, aku hanya tersenyum anggun, seperti biasa. Mataku melirik pada gadis yang duduk di sebelah kiri. Gadis itu sedang menatapku penuh harap.
"Saya ingin bicara sebentar dengan Anda. Bisa kita ke ruang tengah?" tanyaku pada pria itu yang dianggukinya cepat. Dan di sinilah kami, berada di ruang tengah seraya mengintip anak gadis itu dari celah pintu.
*
"Baiklah," ucapku lirih.
Kubuka mataku perlahan. Entah untuk keberapa kali, kuamati lagi gadis itu. Gadis yang nyaris menjadi anak tiriku. Cantik, secantik almarhum ibunya, Leni sahabatku, walau sama sekali tak mirip. Aku nyaris tak mengenali jika ia tak datang bersama pria itu.
Pria di depanku tersenyum lega. Senyum seorang ayah yang berharap mampu memberikan yang terbaik bagi anak. Sorot matanya menyiratkan rasa terima kasih.
Dari sudut mata yang tak kentara, aku pun mengamati pria itu. Sosoknya tak banyak berubah sejak pertemuan terakhirku dengannya. Sedikit berbeda karena ia memelihara brewok tipis, memotong pendek rambutnya, dan tubuhnya terlihat lebih berisi. Sejujurnya, ia terlihat lebih dewasa dan lebih ... tampan.
Kami duduk kembali di ruang tamu, bersama gadisnya. Sang Gadis menjawab dengan polos saat kutanyakan mengapa ibunya tidak ikut datang. "Iya Mbak Ay, Mama sedang hamil besar jadi tidak bisa ikut. Beliau titip salam."
Aku mengangguk maklum. 'Mama'nya yang anak mantan Bupati itu memang selalu spesial. Sejak dulu. Lebih spesial dibandingkan diriku yang hanya anak seorang guru bersahaja. Jauh sebelum hari ini, aku maklum dengan pilihan pria itu atas dirinya, meski tetap saja merasa amat terluka.
Mencoba profesional, kuterima juga job dari pria itu. Job besar yang hanya orang-orang berduit saja yang mampu membayar. Prestige selalu lebih dikedepankan ketimbang urusan pribadi. Lima belas tahun waktu yang cukup buatku memantapkan diri menjadi, seperti yang ia bilang, satu yang terbaik dalam bidang Wedding Organizer. Timku yang hebatpun, tak menyia-nyiakan begitu saja kepercayaan dari orang terkaya di kota ini.
*
Kurancang sebuah acara pernikahan mewah sedetail mungkin dan memastikan semua berjalan sesuai rencana. Tiga bulan waktu untuk timku guna penyelenggaraan pesta besar-besaran yang sempurna. Aku mengesampingkan sentimental pribadi yang sempat menghantui diawal pertemuan. Sadar sepenuhnya jika aku sedang mempertaruhkan semuanya demi nama besarku di bisnis ini.
Dan, seperti yang kuinginkan, hingga tiba hari dan tanggal yang ditetapkan, semua berjalan lancar. Tak ayal, saat hari H, hatiku diliputi ketegangan. Sebenarnya ini biasa terjadi saat menangani job besar. Tapi kali ini, keteganganku berbeda.
Jalan sepanjang depan rumah pria itu sudah disulap menjadi 'gedung' resepsi, menggunakan tenda yang mewah. Biru dan putih menjadi warna tema yang dipilih Si Gadis untuk segala sesuatu yang menyangkut pesta hari esok. Semua. Tenda dan kursi tamu, dekorasi pelaminan, set catering, photo booth, kamar pengantin, juga semua kostum dan wardrobe keluarga besar kedua mempelai, menggunakan warna bernuansa biru dan putih. Benar-benar menjadi tenda biru, gumamku seraya berkeliling mengecek segala persiapan.
Pria itu tak juga berubah. Walau ia mampu menyewa gedung serba guna atau ballroom hotel bintang lima sekalipun, ia justru memilih rumahnya sendiri untuk menjadi tempat perayaan pesta. Seperti waktu itu.
Ah ....
Kutepis kembali perasaan yang entah apa namanya. Semua itu kurasakan sudah sangat usang, tapi kini mendadak segar.
Ini hari bahagianya. Aku hanyalah masa lalu yang entah bagaimana, dihadirkan kembali oleh waktu untuk mengurusi masa depan anaknya. Bersabarlah, untuk hari ini, Ayu. Hanya sampai hari ini. Setelah itu kau bisa menangisi lagi nasibmu di masa lalu, yang bahkan mungkin hanya kau saja yang masih terus mengingatnya.
Semua sudah bersiap. Keluarga besar mempelai putri sudah berkumpul. Detik demi detik menunggu mempelai pria, berlalu dalam tegang. Tidak. Aku yang tegang. Semua orang nampak menikmati keanggunan pesta hari ini. Bahkan, beberapa orang mencicipi hidangan lezat dari catering langganan, patner terbaikku. Mereka mengobrol, tertawa dan bergembira, bersabar menantikan mempelai pria yang sudah terlambat dari jadwal semula.
*
Kebiasaan orang-orang berkelebihan harta untuk berolah raga dan semacamnya, sudah lama digantikan dengan kegiatan menghadiri pesta yang sebenarnya hanya bergantian tempat saja. Lalu selentingan kabar dari masa lalu, tiba-tiba sudah beredar dari mulut ke mulut, melalui bisik-bisik tetangga yang tidak cukup lirih untuk luput dari telingaku.
Kasak kusuk mulai terdengar dari tamu-tamu seraya melirik hati-hati ke arahku. Seolah khawatir aku akan menangkap basah lirikan mereka lalu sakit hati. Tamu undangan dan keluarga yang sebagian besar juga tetanggaku sendiri, merasa perlu memberikan perhatian yang lebih besar saat salah satu dari mereka menceritakan pada teman-temannya perihal masa laluku dengan ayah gadis yang menjadi pengantinku hari ini.
Hatiku sudah panas sejak tadi. Juga telingaku, tapi tidak dengan wajahku. Senyum anggun tetap bertengger di sana seakan memang tercipta untuk selalu begitu.
Alih-alih tenang, aku mulai meremas kedua tangan menghilangkan tegang. Aku menuju ke kamar. Gadisku sudah siap, cantik serupa bidadari. Duduk gelisah di tepi ranjang pengantinnya, menantikan kedatangan Sang Pangeran.
Pangerannya sungguh tampan. Aku bertemu dengannya dua kali sebelum hari ini. Pertama saat foto prewedding yang dikerjakan marathon oleh tim fotograferku, dan kini foto-foto eksotis mereka di Kawah Putih sudah terpajang di beberapa sudut 'gedung' pesta.
Pertemuan keduaku dengan Sang Pangeran gadis ini, saat fitting baju pengantin dan test make up. Pangeran bardarah Batak itu, terbang langsung dari kota asalnya, kuundang khusus untuk bertemu denganku dan tim, juga untuk membicarakan segala sesuatu agar acara hari ini lancar.
"Sabar, Sayang, mungkin masih dalam perjalanan," hiburku pada sang Gadis, mencoba menenangkan gelisahnya.
Aku lebih gelisah. Dan aku berdoa khusus untuk hari ini. Kulangkahkan kaki menuju ruang depan di mana keluarga dan tamu masih sabar menunggu kedatangan calon mempelai pria. Aku berharap segera ada kabar baik yang bisa meredakan debaran jantung yang makin tak karuan ini.
Kasak kusuk makin jelas terdengar. Banyak tatapan mata yang kini tanpa sungkan-sungkan dilayangkan padaku. Begitu juga pria itu. Kami bersitatap. Apa arti tatapnmu, wahai Pria? Apa kini kau sudah bisa merasakan debaran jantungku? Atau debaran jantung anak gadismu? Debaran yang sama yang kurasakan belasan tahun silam saat kau tak juga datang pada hari pernikahan kita.
Kukatupkan rahangku rapat. Berusaha sekuat tenaga, menahan genangan air mata. Demi Tuhan aku tak menginginkan kenangan itu kembali, tapi luka yang terlampau dalam memang akan susah diobati.
Dengung gelisah dari semua hadirin membuat kepalaku pening. Tiga jam sudah berlalu dari jadwal semula. Penghulu yang juga Kepala KUA sudah berpamitan untuk menikahkan pasangan pengantin di tempat lain.
Aku hanya bisa mematung di sebuah sudut. Sebelum benar-benar pergi, Bapak Penghulu mengingatkan pria itu untuk segera menghubungi beliau begitu calon mempelai pria datang. Pria itu mengangguk-angguk cepat seraya menyalami Pak Penghulu yang sedang menatap prihatin ke arahku. Penghulu yang sama, yang belasan tahun lalu gagal menikahkanku dengan pria itu, tapi kemudian kini menjadi suami dan ayah ketiga anakku.
Aku menganggukkan kepala dengan sopan. Hidangan sudah dingin. Tak ada lagi yang berminat menyentuhnya. Gelisahku kini mencapai puncak. Bidadari di tepi ranjang menangis pedih. Terguguk seorang diri. Di depan kamar pengantin, sang Ayah, pria itu, tak berani mengetuk pintu. Sayup ratap pilu gadisnya dari dalam kamar, melebihi pilu di hatinya.
Tengah hari mempelai pria mengabarkan batal datang hari ini, menunggu tanggal baik untuk menikah yang entah kapan.
Sang Pangeran tidak akan pernah datang. Ia sedang bersenang-senang, menikmati imbalan atas kegagalan pernikahannya. Menikmati uang yang kuberikan padanya. Uang yang sangat banyak, yang hanya orang-orang berhati penuh dendam yang mampu membayar.
*
Aku tahu semua rapi. Aku menggunakan foundation brush untuk mengaplikasikan mousse foundation. Sebuah 'ramuan' yang kuciptakan sendiri untuk melapisi wajah jahatku, yang bahkan suamiku pun tak tahu.
'Ini sempurna,' seringaiku puas.
****************** 17 Maret 2019
Oh.😱
BalasHapusKejutannya ada di akhir, pantesan pengantin prianya tidak datang karena sudah dikasih hadiah.
Dulu bapaknya membuat malu, kini anaknya yang jadi bahan pelampiasannya.
Cerita yang bagus mbak Lasmi.😃
Itu namanya karma tak semanis kurma. Hehe....
HapusPadahal kalau pengantin prianya datang mungkin hadiahnya lebih banyak lagi 🤣
BalasHapusWkwk...
HapusBisa jadi bisa jadi.